KABAR BURUKKU DIHARI ITU

Deg…deg… dengan jantung yang berdegup sangat kencang, kuberanikan diriku. Tanganku sudah mulai basah oleh keringat yang mengucur deras. Batinku tidak bisa tenang, meski aku mencoba ribuan kali untuk menenangkannya. Darahku berdesir, kupegang dadaku, kutahan berusaha menghentikan laju debaran yang terlanjur kencang ini. Tuhan, batinku tak henti henti. 

Akhirnya kakiku berhenti juga, di depan pintu itu. Kupandangi pintu yang menutup di hadapanku. Pintu ini lah yang memisahkan aku. Hanya setebal kira-kira 6 cm ini lah yang memisahkan aku dengan takdirku, pintu ini yang menyembunyikan kenyataan. Sudah cukup pikirku, aku harus berani, harus kuat, untuk apa aku datang kesini tanpa berani menerima kenyataan ini. Bukankah ini yang aku mau, bukankan ini yang harus ku terima? Berkali kali aku membatin, menenangkan laju degup jantungku. Tanganku yang basah mulai menggapai gagang pintu, merasakan dinginnya gagang pintu ini. Apapun Tuhan yang terjadi, aku siap, doaku. 

Ckrek… Pintu mulai terbuka. Kupandangi deretan tempat tidur itu. Dimana dia, batinku. Sambil melipat tanganku, doa mulai kupanjatkan. Aku mulai mencari, membayangkan wajahnya, berdoa, semua ku lakukan dalam satu waktu. Takut, jujur itulah yang kurasakan. Akhirnya aku tiba di satu tempat tidur. Kupandangi dia yang berbaring dengan keheningan, kulihat cincin dijarinya, jantungku langsung berhenti. Kenangan dan bayangan dirinya menari jelas dibenakku. Kupandangi dia masih dengan keadaan tidak percaya. Wajah itu, rambut itu bahkan cincin yang dikenakannya, tidak salah lagi, ini dia. 

Tangisku pecah, aku meraung-raung, menggoncangkan badannya, berharap dengan begitu dia sadar dari keheningannya. Air mataku mengaburkan pandanganku, kuusap terus menerus berusaha menghentikannya, tapi tidak bisa. Hatiku sakit, seperti diberi besi panas. Apapun lagi tidak dapat kupikirkan. Hanya dia, hanya dia. Mengapa Tuhan? Mengapa Tuhan? menjadi pertanyaan bodoh yang kuucapkan berkali-kali. Kugoncang lagi tubuhnya, menjerit menyuruhnya bangun, memukul mukul badannya tapi dia tetap diam. Hanya air mata, tangis dan jeritanku terdengar, hancur sudah janjiku untuk tidak menangis, untuk tetap kuat menghadapi ini semua. 

Begitu cepat dia diambil, begitu cepat dia pergi. Dia teman, adik, kakak bahkan terkadang menjadi musuhku terkadang sudah pergi. Hanya meninggalkan kenangan yang tak terlupakan. Dia yang selalu ada buatku kini terbaring tak berdaya dalam keheningan. Korban gempa bumi, dan ke-luar biasaan alam. Gempa Nias Maret tahun 2005 mengambil dia dari sisiku, meninggalkanku. 

Dihari itu ada sekitar 300 orang yang meninggal, dihari itu juga ribuan rumah hancur, dihari itu juga aku kehilangan dia.

 

                                                                                                          (fiksi)